Beranda | Artikel
Bunuh Diri, Tidak Dikafani?
Senin, 5 November 2018

Bunuh Diri, Tidak Dikafani?

Benarkah jenazah gantung diri boleh tidak dikafani? Bgmn jika ini menjadi kesepakatan warga?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Setiap muslim memiliki hak yang harus dipenuhi muslim yang lain. Diantara hak itu adalah hak penanganan jenazah, meliputi dimandikan, dikafani, dishalati dan dimakamkan.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, ketika ada seseorang yang meninggal dunia karena terjatuh dari ontanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِى ثَوْبَيْهِ

“Mandikan dia dengan menggunakan air dicampur bidara dan kafani dia dengan kain ihramnya.” (HR. Bukhari 1265 dan Muslim 2948).

Ibnu Hazm menegaskan ijma’ ulama dalam masalah ini. Dalam Marathib al-Ijma’ dinyatakan,

اتفقوا على أن مواراة المسلم فرض واتفقوا على أن غسله والصلاة عليه ان كان بالغا وتكفينه ما لم يكن شهيدا أو مقتولا ظلما في قصاص فرض

Ulama sepakat bahwa memakamkan muslim hukumnya wajib. Mereka juga sepakat bahwa memandikan, menshalati jenazah yang sudah baligh, dan mengkafaninya selama bukan jenazah yang mati syahid atau yang dibunuh karena qishas, hukumnya wajib. (Marathib al-Ijma’, hlm. 34).

Karena itu, siapapun muslim, memiliki hak ini, sekalipun dia meninggal dalam kondisi suul khotimah atau meninggal dalam kondisi maksiat.

Dosa Bunuh Diri

Bunuh diri termasuk dosa yang sangat besar, karena pelakunya diancam oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk disiksa di neraka dengan cara sebagaimana ketika dia bunuh diri. Padahal orang yang melakukan bunuh diri sampai mati, tidak ada lagi kesempatan bertaubat baginya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ في نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيها أَبَدًا، وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ في يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ في نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فيها أَبَدًا، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَديدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَجَأُ بِها في بَطْنِهِ في نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيها أَبَدًا

“Siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati maka di neraka jahanam dia akan menjatuhkan dirinya, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang menegak racun sampai mati, maka racun itu akan diberikan di tangannya, kemudian dia minum di neraka jahanam, kekal di dalamnya selamanya. Siapa yang membunuh dirinya dengan senjata tajam maka senjata itu akan diberikan di tangannya kemudian dia tusuk perutnya di neraka jahanam, kekal selamanya.” (HR. Bukhari 5778 dan Muslim 109)

Meskipun demikian, pelaku bunuh diri tidaklah dihukumi keluar dari islam. Sehingga jenazahnya tetap wajib disikapi sebagaimana layaknya jenazah seorang muslim. Dia wajib dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.

Hukuman Sosial Bagi Jenazah Bunuh Diri

Hanya saja, ada satu yang membedakan, dianjurkan bagi pemuka agama dan masyarakat, seperti ulama setempat atau pemerintah desa setempat, agar tidak turut menshalati jenazah ini secara terang-terangan, sebagai hukuman sosial dan pelajaran berharga bagi masyarakat.

Dalam hadis dari Jabir bin Samurah radhiallahu ’anhu, beliau menceritakan,

أُتِىَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

Pernah didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang jenazah korban bunuh diri dengan anak panah, dan beliau tidak bersedia menshalatinya. (HR. Muslim 978).

An-Nawawi mengatakan,

عن مالك وغيره أن الإمام يجتنب الصلاة على مقتول في حد وأن أهل الفضل لا يصلون على الفساق زجرا لهم وعن الزهري لا يصلى على مرجوم ويصلى على المقتول في قصاص

Imam Malik dan yang lainnya berpendapat bahwa hendaknya pemuka masyarakat tidak menshalati orang yang mati karena dihukum, dan para pemuka agama tidak menshalati orang fasik, sebagai peringatan bagi masyarakat. Sementara Az-Zuhri berpendapat, pemuka masyarakat tidak menshalati orang yang mati dirajam, namun menshalati orang yang mati sebagai qishas. (Syarh Shahih Muslim, 7/47 – 48)

Syaikhul Islam juga menjelaskan yang semisal,

ومن امتنع من الصلاة على أحدهم – أي : الغال والقاتل والمدين – زجراً لأمثاله عن مثل فعله كان حسناً ، ولو امتنع في الظاهر ودعا له في الباطن ليجمع بين المصلحتين : كان أولى من تفويت إحداهما

“Orang yang tidak mau menshalati jenazah yang mati karena korupsi, qishas, dan punya utang, sebagai bentuk peringatan bagi yang lain agar tidak melakukan semacam itu, termasuk sikap yang baik. Dan andaikan dia tidak mau menshalati secara terang-terangan, namun tetap mendoakan secara diam-diam, sehingga bisa menggabungkan dua sikap paling maslahat, tentu itu pilihan terbaik dari pada meninggalkan salah satu.” (al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah, hlm. 78)

Maksud beliau dengan “dia tidak mau menshalati jenazah orang fasik secara terang-terangan” adalah dalam rangka mengingatkan masyarakat terhadap bahaya perbuatan tersebut dan “tetap mendoakan secara diam-diam”, dalam rangka menunaikan hak sesama muslim.

Kesimpulan

Jenazah yang mati bunuh diri, berhak untuk mendapatkan hukuman sosial, seperti tidak dishalati oleh pemuka masyarakat setempat atau para tokoh agama. Namun dia tetap mendapatkan hak sebagai jenazah muslim, yaitu dimandikan, dikafani, dishalati oleh umumnya kaum muslimin, dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.

Hukuman sosial boleh saja diberikan, namun tidak boleh menghalangi hak dasar setiap muslim yang dilindungi syariat. Dan tidak boleh ada kesepakatan yang menggugurkan aturan syariat.

Sehingga jenazah orang yang mati bunuh diri, tetap wajib dikafani, namun para tokoh masyarakat, boleh tidak ikut menshalatinya.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/33663-bunuh-diri-tidak-dikafani.html